Lombok Tak Melulu Pantai

by - 6:06:00 PM

Lombok adalah salah satu pulau destinasi wisata di Indonesia yang cukup terkenal dengan keindahan pantai-pantai pasir putihnya. Tak hanya itu, di Lombok pula terdapat gunung api tertinggi kedua di Indonesia, Rinjani yang juga menyajikan keindahan alam luar biasa. Namun, Lombok tak sekadar pantai dan Rinjani, Lombok pun memiliki desa-desa yang didominasi petani dengan kebudayaan unik.

Jumat, 2 Oktober 2015 merupakan awal perjalanan saya menuju Lombok. Perjalanan ini saya lakukan bersama para blogger dan penulis dari beberapa wilayah seperti Bandung, Surabaya, Jogja, Bali, dan Jakarta. And I did this trip with totally stranger, yeay! Ya, belum pernah yang saya temui sebelumnya dan ini keseruan pertama yang didapatkan dari perjalanan ini, teman-teman baru (atau kakak-kakak baru, karena saya paling “bocah” ternyata haha).

Pukul 3 sore WIB akhirnya tim Jakarta melakukan penerbangan langsung ke Lombok. Sekitar pukul 6 sore WITA kami sampai di Bandara Praya, Lombok. Setelah rehat sejenak di Bandara kami pun langsung menuju hotel di jantung Kota Mataram. Perjalanan dari bandara menuju hotel sekitar satu setengah jam.

Di awal perjalanan menunju hotel, Lombok nampak sudah sangat gelap dan sepi. Semua rumah sudah tertutup rapat begitu juga dengan toko-toko. Jarak antar satu bangunan ke bangunan lain pun cukup jauh. Padahal saat itu baru menujukan pukul 8 malam. Kesan pertama yang didapat adalah; sepi sekali pulau ini.

Namun, itu semua terbantahkan saat mulai memasuki Kota Mataram, ternyata hiruk pikuk malam di Lombok masih terlihat. Tak sesepi jalanan tadi. Kota Mataram pun, meski tak sepadat Jakarta, masih melek  di malam hari. Cahaya lampu dari bangunan-bangunan dan tugu di kota itu tampak gemerlap ramai. Penduduk Mataram mayoritas Islam dan sepanjang jalan banyak  sekali masjid berjejer, maka ada pula yang menyebut kota ini dengan kota 1000 masjid.

Sekitar pukul 21.30 WITA kami sampai hotel. Beberapa menit mengurus administrasi sambil berfoto depan lobi hotel, kami lalu masuk kamar, mandi, makan, dan menunggu kawan-kawan dari daerah lain. Setelah mereka sampai, kami langsung briefing dan beberapa di antara kami melanjutkan jalan-jalan sedikit di alun-alun Kota Mataram yang tepat berada depan hotel sebelum akhirnya istirahat bersiap untuk perjalanan esok hari.

Kehidupan Mako, Dusun Paok Rengge

Lombok Tengah adalah tempat pertama yang kami kunjungi di Lombok. Perjalanan dari pusat Kota Mataram menuju Lombok Tengah tak begitu jauh, hanya menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam saja. Begitu memasuki wilayah Lombok Tengah, harum khas dari tembakau atau mako akan terasa menyengat hidung. Ya, Lombok Tengah merupakan salah satu komoditas tembakau di Lombok, maka tak heran jika dapat dengan mudah menemukan perkebunan tembakau warga di sepanjang jalan.

Termasuk Dusun Paok Rengge, Desa Waja Geseng yang kami kunjungi, warga di dusun ini pun menanam tembakau. H. Sukirman dan keluarganya yang menjamu kami sebagai tamu pun merupakan salah satu petani tembakau di dusun tersebut. Terhitung sejak 1988 H. Sukirman bertani tembakau.

Di rumahnya, H. Sukirman banyak bercerita tentang perjalanan hidupnya dari sebelum hingga sesudah menjadi petani tembakau. Sebelum menjadi petani tembakau H. Sukirman merupakan buruh dan tukang ojek. Berawal dari mengantarkan salah seorang penumpang ke Lombok Barat dan melihat pertanian tembakau ia pun tertarik untuk memulai dan akhirnya kehidupan ekonominya menjadi karen bertani tembakau.

H. Sukirman dan Keluarganya
“Sebelumnya saya pernah  jadi TKI serta buruh tambang sebelum akhirnya beralih menjadi petani mako,” tutur H. Sukirman. Kontur tanah dan cuaca Lombok yang cukup panas memang cocok untuk tembakau yang hanya buuh sedikit air. Hal inilah yang membuuat mako dapat tumbuh subur dan alami di Lombok serta menjadi gantungan hidup beberapa warganya.

Selain H.Sukirman ada sekitar 15 kepala keluarga lain yang menjadi petani tembakau di Dusun Paok Rengge ini. Setiap tahunnya mereka mampu menghasilkan 80 ton tembakau kering dari 40 hektar lahan tanah yang digarap. Satu ton kering tembakau tersebut bisa dihargai sekitar Rp35 juta. Wajar, jika akhirnya petani yang sukses menanam mako akan sukses pula secara ekonomi.

Sebenarnya, sebelum tahun 2010, nyaris 80% dari warga Dusun Paok Rengge yang menjadi petani mako, namun akibat iklim dan cuaca pada  2010 yang didominasi hujan terus menerus membuat beberapa petani akhirnya gulung tikar. Mereka yang tak bertani tembakau kini menjadi buruh tembakau, buruh migran, serta buruh-buruh serabutan lainnya.

“Sebelumnya saya juga sudah mencoba menanam tanaman holtikultura tapi tak pernah berhasil,” tutur H. Sukirman. Ya, memang tanah di Lombok memang kurang cocok untuk menanam tanaman yang membutuhkan banyak air sehingga sulit untuk menanam tanaman holtikultura. Mako  di musim kering dan padi di musim hujan adalah pilihan yang tepat bagi petani di sana.

Penuturan cerita H.Sukirman tentang mako dan kehidupan warga di sana membuat saya semakin melek bahwa belum ada yang bear memperhatikan kehidupan petani seperti mereka. Semua hasil panen mereka jual pada industri bahkan hanya industri yang memberikan pembinaan dan pemberdayaan. Tak terlihat peran pemerintah sedikit pun di sini.

Tembakau seharusnya bisa dimanfaatkan menjadi berbagai kebutuhan lainnya, bahkan parfum sekalipun. Namun, saat ini pemberdayaan ke arah sana belum ada, sehingga petani benar-benar hanya bergantung pada industri rokok. Tanpa itu tak ada yang membeli hasil panen petani. Tuh, ini kan harusnya peran pemerintah untuk memberdayakan dan mengatur  hasil jual petani agar terus baik setiap kali panen.

Pemandangan depan jalan masuk desa

Baiklah, itu sekelumit cerita di dusun  pertama yang kami kunjungi. Jadi agak serius ya? Tak apalah. Di dusun ini kami disambut dan dijamu dengan hangat oleh warga. Bahkan jamuan makan siang pun sangat berlimpah. Sayangnya, meski makanan khas Lobok itu enak-enak seperti urab dan ayam taliwang, tapi apalah daya anak kecil ini lidahnya tak kuat dengan makanan pedas, sehingga selalu kepedasan dan mencari-cari air putih yang banyak setelah makan.

Selesai makan siang dan bercengkrama dengan keluarga H. Sukirman, kami mengunjungi perkebunan milik warga. Keliling-keliling sebentar. Foto-foto lalu melanjutkan perjalanan. Menghabiskan hampir seharian di Lombok Tengah cukup menyenangkan. Kami pun pulang ke hotel.

Dalam perjalanan kami mampir sejenak ke rumah makan ayam taliwang dan berbincang dengan budayawan Lombok, Paox Siben. Sekitar dua jam kami habiskan untuk membecirakan budaya Lombok dengannya, mulai dari sejarah hingga saat ini. Mulai dari tembakau hingga pariwisata. Sungguh hari yang tak bisa dilupakan.

You May Also Like

0 comments