Lombok Tak Melulu Pantai
Lombok
adalah salah satu pulau destinasi wisata di Indonesia yang cukup terkenal
dengan keindahan pantai-pantai pasir putihnya. Tak hanya itu, di Lombok pula
terdapat gunung api tertinggi kedua di Indonesia, Rinjani yang juga menyajikan
keindahan alam luar biasa. Namun, Lombok tak sekadar pantai dan Rinjani, Lombok
pun memiliki desa-desa yang didominasi petani dengan kebudayaan unik.
Jumat,
2 Oktober 2015 merupakan awal perjalanan saya menuju Lombok. Perjalanan ini
saya lakukan bersama para blogger dan penulis dari beberapa wilayah seperti
Bandung, Surabaya, Jogja, Bali, dan Jakarta. And I did this trip with totally stranger, yeay! Ya, belum pernah
yang saya temui sebelumnya dan ini keseruan pertama yang didapatkan dari
perjalanan ini, teman-teman baru (atau kakak-kakak baru, karena saya paling
“bocah” ternyata haha).
Pukul
3 sore WIB akhirnya tim Jakarta melakukan penerbangan langsung ke Lombok.
Sekitar pukul 6 sore WITA kami sampai di Bandara Praya, Lombok. Setelah rehat
sejenak di Bandara kami pun langsung menuju hotel di jantung Kota Mataram.
Perjalanan dari bandara menuju hotel sekitar satu setengah jam.
Di
awal perjalanan menunju hotel, Lombok nampak sudah sangat gelap dan sepi. Semua
rumah sudah tertutup rapat begitu juga dengan toko-toko. Jarak antar satu
bangunan ke bangunan lain pun cukup jauh. Padahal saat itu baru menujukan pukul
8 malam. Kesan pertama yang didapat adalah; sepi sekali pulau ini.
Namun,
itu semua terbantahkan saat mulai memasuki Kota Mataram, ternyata hiruk pikuk
malam di Lombok masih terlihat. Tak sesepi jalanan tadi. Kota Mataram pun,
meski tak sepadat Jakarta, masih melek di malam hari. Cahaya lampu dari
bangunan-bangunan dan tugu di kota itu tampak gemerlap ramai. Penduduk Mataram mayoritas
Islam dan sepanjang jalan banyak sekali
masjid berjejer, maka ada pula yang menyebut kota ini dengan kota 1000 masjid.
Sekitar
pukul 21.30 WITA kami sampai hotel. Beberapa menit mengurus administrasi sambil
berfoto depan lobi hotel, kami lalu masuk kamar, mandi, makan, dan menunggu
kawan-kawan dari daerah lain. Setelah mereka sampai, kami langsung briefing dan beberapa di antara kami
melanjutkan jalan-jalan sedikit di alun-alun Kota Mataram yang tepat berada
depan hotel sebelum akhirnya istirahat bersiap untuk perjalanan esok hari.
Kehidupan Mako, Dusun Paok Rengge
Lombok
Tengah adalah tempat pertama yang kami kunjungi di Lombok. Perjalanan dari
pusat Kota Mataram menuju Lombok Tengah tak begitu jauh, hanya menghabiskan
waktu sekitar 1,5 jam saja. Begitu memasuki wilayah Lombok Tengah, harum khas
dari tembakau atau mako akan terasa
menyengat hidung. Ya, Lombok Tengah merupakan salah satu komoditas tembakau di
Lombok, maka tak heran jika dapat dengan mudah menemukan perkebunan tembakau
warga di sepanjang jalan.
Termasuk
Dusun Paok Rengge, Desa Waja Geseng yang kami kunjungi, warga di dusun ini pun
menanam tembakau. H. Sukirman dan keluarganya yang menjamu kami sebagai tamu
pun merupakan salah satu petani tembakau di dusun tersebut. Terhitung sejak
1988 H. Sukirman bertani tembakau.
Di
rumahnya, H. Sukirman banyak bercerita tentang perjalanan hidupnya dari sebelum
hingga sesudah menjadi petani tembakau. Sebelum menjadi petani tembakau H.
Sukirman merupakan buruh dan tukang ojek. Berawal dari mengantarkan salah
seorang penumpang ke Lombok Barat dan melihat pertanian tembakau ia pun
tertarik untuk memulai dan akhirnya kehidupan ekonominya menjadi karen bertani
tembakau.
H. Sukirman dan Keluarganya |
“Sebelumnya
saya pernah jadi TKI serta buruh tambang
sebelum akhirnya beralih menjadi petani mako,”
tutur H. Sukirman. Kontur tanah dan cuaca Lombok yang cukup panas memang cocok
untuk tembakau yang hanya buuh sedikit air. Hal inilah yang membuuat mako dapat tumbuh subur dan alami di
Lombok serta menjadi gantungan hidup beberapa warganya.
Selain
H.Sukirman ada sekitar 15 kepala keluarga lain yang menjadi petani tembakau di
Dusun Paok Rengge ini. Setiap tahunnya mereka mampu menghasilkan 80 ton
tembakau kering dari 40 hektar lahan tanah yang digarap. Satu ton kering
tembakau tersebut bisa dihargai sekitar Rp35 juta. Wajar, jika akhirnya petani
yang sukses menanam mako akan sukses
pula secara ekonomi.
Sebenarnya,
sebelum tahun 2010, nyaris 80% dari warga Dusun Paok Rengge yang menjadi petani
mako, namun akibat iklim dan cuaca
pada 2010 yang didominasi hujan terus
menerus membuat beberapa petani akhirnya gulung tikar. Mereka yang tak bertani
tembakau kini menjadi buruh tembakau, buruh migran, serta buruh-buruh serabutan
lainnya.
“Sebelumnya
saya juga sudah mencoba menanam tanaman holtikultura tapi tak pernah berhasil,”
tutur H. Sukirman. Ya, memang tanah di Lombok memang kurang cocok untuk menanam
tanaman yang membutuhkan banyak air sehingga sulit untuk menanam tanaman
holtikultura. Mako di musim kering dan padi di musim hujan adalah
pilihan yang tepat bagi petani di sana.
Penuturan
cerita H.Sukirman tentang mako dan
kehidupan warga di sana membuat saya semakin melek bahwa belum ada yang bear memperhatikan kehidupan petani
seperti mereka. Semua hasil panen mereka jual pada industri bahkan hanya
industri yang memberikan pembinaan dan pemberdayaan. Tak terlihat peran
pemerintah sedikit pun di sini.
Tembakau
seharusnya bisa dimanfaatkan menjadi berbagai kebutuhan lainnya, bahkan parfum
sekalipun. Namun, saat ini pemberdayaan ke arah sana belum ada, sehingga petani
benar-benar hanya bergantung pada industri rokok. Tanpa itu tak ada yang
membeli hasil panen petani. Tuh, ini kan harusnya peran pemerintah untuk
memberdayakan dan mengatur hasil jual
petani agar terus baik setiap kali panen.
Pemandangan depan jalan masuk desa |
Baiklah,
itu sekelumit cerita di dusun pertama
yang kami kunjungi. Jadi agak serius ya? Tak apalah. Di dusun ini kami disambut
dan dijamu dengan hangat oleh warga. Bahkan jamuan makan siang pun sangat
berlimpah. Sayangnya, meski makanan khas Lobok itu enak-enak seperti urab dan
ayam taliwang, tapi apalah daya anak kecil ini lidahnya tak kuat dengan makanan
pedas, sehingga selalu kepedasan dan mencari-cari air putih yang banyak setelah
makan.
Selesai
makan siang dan bercengkrama dengan keluarga H. Sukirman, kami mengunjungi
perkebunan milik warga. Keliling-keliling sebentar. Foto-foto lalu melanjutkan
perjalanan. Menghabiskan hampir seharian di Lombok Tengah cukup menyenangkan.
Kami pun pulang ke hotel.
Dalam
perjalanan kami mampir sejenak ke rumah makan ayam taliwang dan berbincang
dengan budayawan Lombok, Paox Siben. Sekitar dua jam kami habiskan untuk
membecirakan budaya Lombok dengannya, mulai dari sejarah hingga saat ini. Mulai
dari tembakau hingga pariwisata. Sungguh hari yang tak bisa dilupakan.
0 comments