Atap Itu Bernama Mahameru

by - 8:16:00 AM


Sebuah mimpi sejak bertahun-tahun yang lalu yang akhirnya bisa terwujud pada Agustus 2014. Impian untuk bisa meginjakkan kaki di atap Pulau Jawa. Mendakinya penuh ambisi bersama orang-orang yang disayangi. Yap, Semeru dan Mahamerunya selalu menjadi tujuanku semenjak 4 tahun yang lalu.

Singkat kalam, 12 Agustus 2014 bersama keempat sahabat lainnya aku mendaki gunung impian itu. Petualangan dimulai sejak 10 Agustus, aku dan Delia berangkat dari Bandung menggunakan jasa Travel Baraya. Seharusnya kami berangkat pukul 8 pagi namun, karena banyak halangan di jalan travel baru berangkal pukul 8.20.  Setelah sekitar dua setengah jam perjalanan kami sampai di Ciputat. Awalnya, kami ingin mencoba untuk jalan kaki jalan raya sampai indekosku, tapi setelah melihat cuaca yang begitu panas dan carrier besar serta berat yang kami bawa, kami pun memutuskan untuk naik ojeg sampai depan indekos.

Hari itu kami semua belanja logistik. Setelah belanja logistik selesai, kami kembali ke indekosku dan mulai melakukan packing. Aku, Delia, dan Dwi termasuk wanita yang tangguh karena kami semua membawa carrier, tak satupun dari kami yang membawa day pack. Tak hanya itu, semua carrier yang kami bawa isinya penuh dan berat. Entah apa saja sebenarnya yang kami bawa.

Kemudian tiada henti aku berdoa untuk keselamatan kami. Debaran jantungku pun terasa lebih cepat dari biasanya. Ya, bismillahirahmanirahim.

Senin, 11 Agustus 2014
Sekitar pukul 11 pagi aku, Delia, Dwi, Kak Fadil, dan Om Sentot berkumpul di halte sebelah kampus UIN Jakarta. Sebenarnya kami janji untuk berangkat pukul  9 pagi, namun, jalan dari Parung-Ciputat ternyata macet dan menyebabkan dua pria yang katanya bakal on time itu terlambat. Dari halte kami berlima menuju Stasiun Pasar Senen menggunakan bis, sepanjang perjalanan kami isi dengan cerita dan canda tawa. Awalnya, aku khawatir terjadi kekakuan antara kami dan Om Sentot yang baru saling mengenal, tapi ternyata itu tidak terjadi sama sekali, kami semua bisa langsung akrab satu sama lain.


Satu setengah jam kemudian kami sudah tiba di Stasiun Pasar Senen dan langsung mencetak tiket. Kereta yang akan kami tumpangi sampai Malang adalah kereta Matarmaja yang berangkat pukul 15.10. Berhubung masih ada waktu cukup lama kami berlima terlebih dahulu menunaikan Salat Dhuzur dan membeli nasi. 

Gaya dulu sebelum naik kereta
Saat masuk kereta kembali ada cerita yang sedikit mungkin mengesalkan pada awalnya tapi lucu bila dipikirkan sekarang. Jadi, aku memesan tiket secara online dan digambar yang ditunjukkan website KAI tujuh tempat duduk yang akan kami tempati itu berderet dua bukan tiga. Namun, pada kenyataannya tempat duduk itu berderet tiga. Ya, sudahlah. Namun, saat kami mau duduk di tempat yang sudah kami pesan ternyata di sana sudah ada sebuah keluarga dan membuat kami sedikit kebingungan. 

Singkat cerita mereka ingin menukar tempat duduk karena ternyata keluarga itu mendapat tiket dengan tempat duduk yang berjauhan. Ya, mau diapakan lagi kami juga tidak tega mengusir mereka untungnya kami memesan 7 tempat duduk sehingga masih ada 2 kursi kosong dan akhirnya kami bergabung bersama keluarga dan kakak-beradik itu sampai Malang.

Seperti biasa, hal yang selalu aku lakukan jika naik kereta adalah jalan-jalan ke gerbong lain dan main kartu. Yap sepanjang jalan kami bercanda sambil bermain kartu, sesekali sambil menyesap kopi yang dijual di kereta. Kantuk mulai menyerang ketika jarum jam sudah menujukkan pukul 12 malam, sedikit demi sedikit kami tertidur meski bentuk sandaran kursi yang 90 derajat dan tak bisa diubah itu membuat kami harus berkali-kali mengubah posisi tidur, intinya kami tidak bisa tidur nyenyak.

Selasa, 12 Agustus 2014
Sekitar pukul 7 pagi kami sudah tiba di Stasiun Kota Baru Malang.  Lengket, pegal, dan ngantuk adalah kata yang pas untuk mendeskripsikan keadaanku saat itu. Berhubung aku membawa beberapa oleh-oleh untuk Budeku, aku, Delia, dan Dwi meminta izin untuk mampir sejenak ke kosan Yosan dan menitipkan barang-barang yang tidak perlu kami bawa mendaki.

Estimasi waktu kami akan selesai hanya dalam setengah jam, tapi jalur baru angkot dan kejadian aneh-aneh seperti bayar ojeg kemahalan dan kamera ketinggalan membuat kami menghabiskan waktu sekitar 2 jam. Rasanya saat itu aku sangat bersalah pada Kak Fadil dan Om Sentot yang menunggu di stasiun dan sudah mendapatkan angkot menuju Pasar Tumpang. Meski berkali-kali mereka menelfon dan sms yang membuat kami panik dan berlari ternyata mereka tidak marah.

Kejadian itu membuat kami sampai Pasar Tumpang terlalu siang. Perjalanan stasiun-Pasar Tumpang menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam. Kami tiba di sana sekitar pukul 10.30 dan langsung mengurus administrasi serta sarapan. Soto ayam dan kopi hitam adalah menu sarapanku saat itu. Tapi, aku kecewa dengan kopinya yang tidak pekat dan sepertinya belum matang.


Lagi-lagi ada cerita lucu. Dari Pasar Tumpang ke Ranu Pani biasanya para pendaki harus naik jeep atau truk. Dulu, bisa naik jeep atau truk langsung dari Pasar Tumpang, tapi dengan dalih bagi-bagi rezeki, sekarang untuk menuju Ranu Pani kita harus naik angkot terlebih dahulu dan barulah di rest area bisa naik jeep atau truk.

Foto depan Jeep sehabis sarapan, padahal gak akan pake Jeep 
Mau untung malah buntung. Ceritanya kami tidak mau naik jeep yang kecil dan diisi 15 orang plus carrier besar. Tak terbayang sesaknya seperti apa. Bisa-bisa kami jadi seperti ikan pepes (OMG!). Kami pun memutuskan untuk naik truk dan melalui cara yang agak ilegal. Dulu, ada tempat yang disebut basecamp, nah biasanya para pendaki istirahat dan memilih kendaraan di sana, setidaknya itulah yang dilakukan Kak Fadil dulu. Namun, sekarang hal itu sudah tidak berlaku. Kami tetap tidak bisa begitu saja naik truk dari sana, karena ada aturan payuguban.

Setelah urus sana-sini sekitar pukul 12 siang kami baru bisa menuju Ranu Pani, tetap naik angkot dan baru naik truk di rest area. Coba saja kalau kami langsung naik dari paguyuban tadi pasti sudah setengah perjalanan. Tapi setidaknya kami tidak berdesakan naik jeep dan bisa leluasa di dalam truk bersama 11 orang lainnya.

Kapan lagi truk yang biasanya terisi sapi diisi sama cewe-cewe kece begini haha
Pukul 3 sore kami sampai di Ranu Pani. Musola dan toilet adalah tujuan pertama kami. Setelah selesai salat, mengurus adminitrasi, dan packing ulang kami langsung memulai pendakian. Di Ranu Pani juga kami bertemu dengan pendaki lain asal Padang yang baru saja turun, pria-pria itu sangat ramah ya biasa namanya juga pendaki. Sempat mengobrol beberapa hal dan akhirnya kami foto bersama hoho.
Narsis dulu sama pendaki asal Padang yang mukanya familiar
Pukul 4 sore treking di mulai. Untuk menuju Ranu Kumbolo kami harus melewati 4 pos dengan jalur yang melewati beberapa bukit. Trek menuju Ranu Kumbolo ini cukup bervariasi, mulai dari landai sampai curam. Treking awal menuju pos 1 cukup menanjak dengan sedikit bonus, namun, kami masih memiliki cukup banyak tenaga sehingga sekitar satu setengah jam sampai di pos 1 masih sempat foto-foto dengan wajah ceria.
Sebelum mulai treking

Hari semakin gelap dan udara semakin dingin. Kami mulai kelelahan karena semenjak dari Jakarta hanya punya waktu sedikit untuk beristirahat. Beberapa kali kami beristirahat, apalagi saat perjalanan dari pos 2 menuju pos 3. Ini trek yang cukup panjang dengan variasi menanjak dan menurun. Di tengah jalan tiba-tiba saja kaki Delia mengalami kram sehingga kami berhenti sejenak dan beristirahat. Setelah beberapa lama Delia sembuh, giliran betisku yang kram. Saat itu, aku langsung terjatuh dan spontan berteriak. Sepertinya otot kaki kami mulai lelah. Namun, untungnya hal ini tidak berlangsung lama, aku dan Delia kembali bisa berjalan dengan normal.

Di tengah suasana yang semakin gelap, lelah, dan dingin Tuhan memberikan kami keindahan yang luar biasa. Pemandangan yang sangat jarang akhirnya kami temukan, Big Moon. Subhanallah sungguh indah sekali cahaya bulan purnama di atas awan. Awalnya kami mengira itu adalah cahaya lampu dari pendaki lain. Namun, setelah dilihat dengan seksama ternyata itu bulan purnama. Cahayanya sangat terang dan terasa begitu dekat. Bulan seperti ini disebut  Big Moon karena ukurannya yang sangat besar dan terasa dekat.

Bentuk bulat sempurna dengan cahaya kekuningan di sekelilingnya yang semakin orange ke tengah membuat kami terus mengucapkan kata-kata kekaguman. Di sekeliling bulan itu masih tampak awan yang berarak. Kami benar-benar merasa melayang, berada di atas awan sejajajr dengan bulan. Sayang sekali pemandangan seindah itu tidak bisa kami abadikan dengan kamera mengingat resolusi kamera yang kami bawa hanya kamera handphone dan kamera digital biasa. Hal ini membuat Big Moon tidak bisa tertangkap kamera dan hanya kami abadikan oleh mata kepala sendiri serta disimpan dalam hati.
Waktu sudah menujukkan pukul 21.30 dan kami belum juga sampai pos 4. 

Lelah sudah sangat menggerogoti tubuh. Dingin karena angin dan kabut semakin menusuk. Kekhawatiran sedikit demi sedikit menghantui. Hal ini yang kemudian membuat Kak Fadil berinisiatif untuk treking duluan dan mendirikan tenda. Akhirnya kami semua setuju dan ia berjalan dengan cepat sedangkan kami treking santai di belakangnya.

22.00, tapi pos 4 belum terlihat. Sudah 6 jam kami berjalan. Kak Fadil belum juga kembali, tadi ia bilang akan kembali untuk membantu membawa barang jika sudah mendirikan tenda. Setelah sudah sangat lelah akhirnya kami menemukan pos 4, tepat di atas Ranu Kumbolo. Sejenak kami beristirahat lalu langsung treking mencari jalur untuk turun ke Ranu Kumbolo. Akhirnya kami menemukan jalurnya dan itu cukup terjal. Kelelahan kami malah membuat langkah kaki semakin cepat.

Aku mengedip ngedipkan headlamp yang kupakai sebagai tanda keberadaan kami untuk Kak Fadil. Namun, ia tak terlihat juga, kami kebingungan di mana ia mendirikan tenda sedangkan Ranu Kumbolo itu luas. Setelah menuruni jalur yang cukup terjal akhirnya Kak Fadil datang, ia dengan sigap mengambil carrier yang digendong Om Sentot. Namun, anehnya ia terlihat sangat buru-buru dan berlari dengan cepat. Hanya dalam beberapa menit ia hilang dari pandangan.

Heran dan panik. Itu yang aku rasakan saat itu. Kenapa ia berlari? Pikiranku sudah negatif saja saat itu. Aku, Delia, Dwi, dan Om Sentot kemudian panik dicampur kesal. Kenapa ia meninggalkan kami? Jangan-jangan... Ah sudahlah aku hanya bisa terus berjalan dengan cepat sambil berteriak memanggil Kak Fadil. Tapi ia tak juga kembali dan terlihat.

Sampai di dekat danau aku bertanya pada serombongan pendaki, “Maaf mas lihat cowo yang jalan lewat sini gak?” setelah aku bertanya tiba-tiba munculah Kak Fadil dan menunjukkan kami jalan. Ada hal lucu lagi, karena kami belum tahu tenda kami di mana dan warna apa kami sempat salah masuk tenda, untung saja orang di dalamnya tidak merasa terganggu.

Sampai tenda, Om Sentot yang sudah sangat lelah langsung tidur setelah sedikit bebenah. Dwi dan Delia nampak sangat kedinginan, begitu juga dengan aku. Kami melapisi baju dan celana kami agar lebih tebal. Keadaanku sedikit membaik setelah melapisi celana dan memakai jaket. Tapi aku sangat khawatir melihat Delia dan Dwi yang masih menggigil, mereka akhirnya memakai sleeping bag dan berbaring.

Di luar, aku membereskan barang-barang dan memasak. Sampai sekitar pukul 12 malam aku menghangatkan tubuh di depan parafin sambil makan mie dan nasi gagal. Meski nasi gagal, berhubung lapar ya dimakan juga. Setelah itu aku masuk tenda  melihat Dwi dan Delia masih menggigil. Jujur aku takut. Segera mungkin aku membangunkan mereka dan menyuapi mereka susu coklat hangat. Aku pun memaksa mereka untuk makan mie agar setidaknya perutnya terisi dan hangat. Akhirnya mereka pun makan,  setelah itu kami semua tidur.

Rabu, 13 Agustus 2014


Setengah 6 pagi aku membangunkan Delia, sesuai pesannanya, “Bangunin aku pas sunrise ya er,” katanya sebelum tidur. Akhirnya, membangunkan satu orang membuat satu tenda bangun semua. Kak Fadil yang sudah keluar duluan kemudian segera memanggil kami yang masih mengucek-ngucek mata di dalam tenda, “yuk, lihat sunrise,” ajaknya. 

Ranu Kumbolo, sebelum sunrise
Akhirnya, kami keluar dan dingin Ranu Kumbolo masih sangat menusuk kulit. Matahari belum juga muncul dari balik bukit di Timur danau. Kami pun langsung mengambil beberapa foto, ehm banyak foto lebih tepatnya. Delia yang sedang hobi loncat tentu berpose lompat sana lompat sini haha. Sampai sunrise yang ditunggu-tunggu muncul begitu indahnya dan tak lelah kami mengabadikannya dalam jepretan kamera. Subhanallah matahari itu keluar perlahan dari tengah kedua bukit di Timur Ranu Kumbolo. Cahayanya menerangi dan menghangatkan para penikmat keindahan-Nya.

Sunrise yang ditunggu-tunggu
Setelah sunrise, akhirnya hangat juga kena sinar matahari
Pagi itu, Ranu Kumbolo menjadi saksi bisu kegaguman kami akan ciptaan-Nya. Saat itu juga danau para dewa itu menjadi saksi akan tekad kami untuk mendaki Mahameru. Sekitar pukul 10 kami telah selesai berkemas dan melanjutkan perjalanan menuju Kalimati. Rencananya, di sana kami akan kembali berkemah sambil menunggu malam dan melanjutkan perjalanan ke puncak.

Sarapan dulu chicken wing sebelum nanjak lagi
Entah kenapa saat itu, kepalaku rasanya sedikit pening, perutku pun agak sedikit tidak enak. Aku berpikir mungkin aku masuk angin, makanya aku kemudian meminum obat anti masuk angin serta roti dan sari kurma. Sebisa mungkin aku berusaha membuat perutku terisi. Setelah itu, aku merasa lebih baik dan langsung melanjutkan perjalanan.

Foto bareng dulu sebelum berangkat ke Kalimati
Dari Ranu Kumbolo ke Kalimati kami harus melewati sebuah tanjakan penuh legenda dan cerita yang disebut Tanjakan Cinta. Tanjakan ini memang cukup curam. Jalur menanjak dengan sejuta kisah ini membagi dua bukit yang mengelilingi Ranu Kumbolo. Ada cerita bahwa jika kita tidak menoleh ke belakang selama mendaki tanjakan ini, maka orang yang kita pikirkan akan menjadi cinta sejati kita. Percaya tak percaya aku ingin mencobanya. Tapi, di tengah perjalanan aku menoleh juga ke belakang untuk memastikan rekanku di belakang masih baik-baik saja.

Mulai jalan ke Tanjakan Cinta yang aslinya lebih nanjak dari ini
Sampai di atas tanjakan cinta kami semua melepas lelah sejenak sambil mengambil beberapa foto. Keindahan Ranu Kumbolo semakin terlihat dari atas sana. Warna biru danau legendaris itu terlihat sangat menyejukan hati. Bahkan, kami sanggup menatapnya terus menerus tanpa henti, tak ingin beranjak.

Ranu Kumbolo, dari atas Tanjakan Cinta
Setelah cukup beristirahat kami pun melanjutkan perjalanan. Dari Ranu Kumbolo kami kembali diberi pemandangan yang sangat  indah, Oro-Oro Ombo. Trek dari Ranu Kumblo ke Cemoro Kandang didominasi trek menurun dan landai, bahkan tidak ada tanjakan. Oro-Oro Ombo merupakan sebuah padang savana luas yang  dipenuhi oleh lavender. Sungguh indah.

Melalui Oro-Oro Ombo bisa dengan dua cara, pertama menyusuri jalan di sisi-sisi bukit baru turun dan sampai Cemoro Kandang. Kedua, langsung turun menelurusi padang savana sampai Cemoro Kandang. Kami memilih jalur yang pertama sehingga sepanjang perjalanan bisa menikmati pemandangan Oro-Oro Ombo dari atas. Sayangnya, saat itu sedang musim kering sehingga levendernya tidak mekar dan warna ungunya pun sudah kehitaman karena terbakar matahari.

Hamparan padang savana dan lavender yang sangat luas membuat kami tak merasakan lelah dan panas hari itu. “Kalau lavendernya mekar pasti bangus banget, lebih bagus dari ini, subhanallah,” gumamku dalam hati. Saat itu, aku sengaja tak begitu buru-buru berjalan dan menikmati setiap langkah di Oro-Oro Ombo. Selain itu, aku juga masih merasakan guncangan di perutku semenjak pagi di Ranu Kumbolo.

Oro-Oro Ombo, padang savana dan lavender di Semeru
Sampai di Cemoro Kandang, kami kembali beristirahat dan mengambil beberpa foto. Ya, sebenarnya cukup banyak foto. Ada warga Tengger yang berjualan di Cemoro Kandang. Sungguh luar biasa, dua orang wanita dan seorang anak kecil yang mampu berjalan jauh sambil membawa barang dagangan hingga ke sana. Melihat jauhnya jarak dan perjuangan wajar saja jika harga jajanan di sana melambung tinggi. Sepotong semangka dihargai Rp5000, gorengan Rp2500, dan air mineral Rp10000.

Jajan di Cemoro Kandang
Loncat-Loncat abis jajan
Di Cemoro Kandang pula kami bertemu dengan pendaki yang sudah tua. Ia adalah seorang pria berumur 56 tahun. Ia mendaki bersama istri dan anak serta keponakannya. Sungguh luar biasa, karena di usia senjanya, ia masih memiliki semangat mendaki. Katanya, ia baru mulai mendaki gunung 2 tahun yang lalu dan terus ketagihan hingga saat ini.

Narsis bersama babeh dan istrinya, pendaki usia senja
Setelah cukup makan, beristirahat, dan bercengkrama dengan beberapa pendaki lain kami pun meneruskan perjalanan. Sebelum sampai Kalimati ada satu pos lagi yang harus kami  lewati yaitu Jambangan. Trek menuju Jambangan didominasi dengan tanjakan, hanya sedikit trek landai dan menurunnya. Sepanjang jalan kami hanya melewati hutan yang didominasi pohon-pohon besar.

Sampai di Jambangan kami mengambil beberapa foto sebelum melanjutkan perjalanan menuju Kalimati. Dari Jambangan ini lah terlihat jelas puncak yang akan kami daki nanti malam, Mahameru begitu gagah terlihat dari sini. Trek pasir dengan kemiringan sekitar 70 derajat terlihat jelas. Semua sisinya berwarna semakin abu-abu ke atas, pertanda sudah tidak ada lagi tanaman, hanya pasir dan bebatuan yang akan ada nanti.

Sama Om Sentot dengan latar belakang gagahnya Mahameru

Trek menuju Kalimati cukup bervariasi dengan di dominasi trek landai dan menurun. Hutan di Kalimati cukup lebat sehingga hanya sedikit cahaya yang masuk. Suasana hutan dari Cemoro Kandang ke Jambangan dan dari Jambangan ke Kalimati memang sangat berbeda. Hutan menuju Kalimati terasa lebih lembab. Selain itu, karena sudah semakin dekat dengan Mahameru, di Kalimati kita bisa merasakan hujan abu, namun, untungnya saat itu tidak ada hujan abu dari puncak Mahameru.

Sekitar pukul 5 sore kami sampai di Kalimati dan langsung mendirikan tenda. Intensitas angin sangat kencang di Kalimati, sehingga aku perlu merapatkan jaket untuk menghindari masuk angin. Dari Ranu Kumbolo kami tidak membawa air, makanya saat di Kalimati kami dibagi menjadi dua tim. Delia, Dwi, dan Om Sentot yang merapikan tenda dan memasak. Sedangkan aku ikut Kak Fadil mengambil air ke sumber air.

Mahameru dari Kalimati
Awalnya, aku berpikir sumber air itu dekat tapi ternyata cukup jauh dari tempat kami membuat tenda. Butuh satu jam perjalanan tanpa henti untuk bolak-balik sampai ke tenda lagi. Trek menuju sumber air pun tidak mudah, banyak tanjakan dan turunan curam yang harus kami lewati. Konon, jika musim hujan itu merupakan jalan air. Dulunya itu pun merupakan sungai namun, sudah kering, makanya disebut Kalimati.

Sampai di sumber air banyak juga pendaki yang mandi dan membersihkan diri selain mengambil air di sana. Aku pun ikut menggosok gigi sebentar. Airnya sungguh menyegarkan dan seketika menghilangkan lelahku.

Saat kembali, tenda sudah rapi dan sudah ada sarden dan nasi untuk kami makan. Selesai makan dan menghangatkan diri kami bercengkarama dan bercanda di dalam tenda. Saat itu, seperti biasa apa saja bisa kami jadikan bahan tertawaan. Sekitar pukul 8 malam kami semua beristirahat dan tidur untuk persiapan menuju puncak nanti malam.

Rasanya ada yang aneh dengan tubuhku saat itu. “Mungkin masuk angin,” pikirku saat itu. Aku pun minum tolak angin sebelum tidur. Saat itu, Delia juga sedikit mengeluh mengenai sesak di dadanya. Jujur, aku sedikit khawatir akan perjalanan kami ke puncak nanti. Tapi aku harus tetap optimis, tidak boleh menyerah begitu saja.

Kamis, 14 Agustus 2014

Tepat pukul 12 malam aku terbangun. Sejenak aku mengerjapkan mata dan merasakan kondisi tubuhku. “Tidak buruk,” kataku dalam hati. Saat itu, aku merasa kondisi tubuhku siap untuk menuju Puncak Mahameru dan aku pun membangunkan yang lain untuk bersiap-siap.

Sekitar setengah jam kami semua mempersiapkan diri untuk menuju puncak. Saat itu, hampir semua baju yang kubawa aku pakai demi menghindari hipotermia. Tak kurang dari 3 lapis baju plus jaket dan 3 lapis celana kupakai.

Setelah semua persiapan selesai, kami berkumpul di luar tenda untuk berdoa sebelum berangkat. Angin kencang masih saja menerpa membuat udara semakin dingin. Aku pun tak membiarkan tubuhku diam, pasti ada saja yang aku gerakan demi menciptakan kehangatan. Usai berdoa kami semua merunduk dan lagi-lagi keluar kalimat, ”tujuan kita bukan puncak, tapi rumah,” dan di sini lah perjalanan sesungguhnya di mulai.

Jalur menuju puncak kali ini berbeda dari biasanya. Dulu, untuk menuju puncak harus melewati Arco Podo, sekarang jalur itu ditutup karena longsor. Kami pun melalui jalan baru yang katanya jauh lebih dekat dibanding jalur Arco Podo. Malam itu, senter kami yang berfungsi dengan baik hanya ada tiga sehingga aku jalan paling depan, disusul Kak Fadil, Dwi, Delia, dan Om Sentot.

Di awal perjalanan, trek yang di lalui masih berupa hutan dengan pijakan pasir halus. Treknya cukup menanjak sehingga kami perlu beberapa kali beristirahat. Namun, karena malam hari dan jalur baru kami benar-benar harus hati-hati dalam melangkah dan memperhatikan setiap tanda di jalan. Salah-salah bisa masuk jurang, karena di kiri dan di kanan jalur banyak sekali jurang.

Malam itu, aku tak begitu merasa kedinginan, ketakutanku akan hipotermia sedikit menghilang. Saat itu, yang penting aku harus membuat tubuhku terus bergerak dan tidak boleh membiarkannya kedinginan. Namun, aku kembali merasa ada yang aneh dengan perutku, aku takut kondisi tubuhku tiba-tiba menurun.

Setelah kurang lebih dua setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai pada batas vegetasi. Dari sana sudah mulai terlihat trek sangat terjal dengan batu dan pasir yang kasar. Debar jantungku menjadi lebih cepat dari biasanya, adrenalinku semakin terpacu untuk menuju atap Pulau Jawa itu.

Sedikit demi sedikit jalur itu kudaki, semakin ke atas semakin sulit dan semakin terjal. Pasir-pasir itu membuat sepatuku licin dan terus terpeleset ke bawah. Dua langkah maju, satu langkah mundur atau terkadang dua langkah maju tiga langkah mundur, begitulah kira-kira. Sulit memang dan perut serta tenggorokanku semakin tak nyaman rasanya.

Susah payah mendaki pasir dan bebatuan
Beberapa kali aku membenamkan tubuhku di pasir. Sengaja beristirahat dengan menelungkupkan tubuh untuk menghindari angin dan berlindung di bawah pasir yang lebih hangat. Ada yang aneh dengan aku saat itu, sungguh tidak seperti biasanya. Aku takut masuk angin, mungkin kedengarannya sepele tapi di tempat seperti ini hal itu bisa jadi sangat buruk.

Namun, aku tak bisa menyerah dan terlihat sakit begitu saja. Ada empat orang lainnya juga yang bersamaku, terutama yang sangat aku pikirkan adalah Dwi dan Delia, mereka tidak boleh terpengaruh oleh keadaanku. Aku pun terus mendaki sedikit demi sedikit.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul 5 pagi dan kami belum setengah perjalanan menunju puncak seakan akan puncak itu hanya fatamorgana. Aku lelah dan kembali membenamkan diri ke pasir, kupejamkan sejenak mataku beberapa menit sampai akhirnya aku terbangun karena kata-kata, “lihat er ke belakang, pemandangannya bagus,” kata Om sentot.

Aku pun menengok ke belakang dan subhanallah indah sekali lukisan Tuhanku ini. Ya Allah, aku tak bisa berhenti mengucap kata syukur dan kagumku pada-Mu. Tepat di belakangku terlihat pemadangan hutan, gunung, dan desa yang begitu tertata rapi. Belum lagi lautan awan di kiri kanannya membuatku tak lelah melihatnya, bahkan aku merasa ingin berada terus di sana dan menikmati keindahan itu.


Lelah kami seketika hilang saat melihat lukisan alam itu. Beberapa foto kami ambil. Setelah itu, kami kembali disungguhkan dengan keindahan luar biasa, sunrise. Matahari itu muncul dari ufuk timur, sedikit demi sedkit menyinari kami, menghangatkan, dan mengajak kami terus menikmati lukisan alam. Cahaya kekuningannya menerpa lautan awan putih yang berarak dan menyelimuti pegunungan di bawahnya. Sungguh indah luar biasa.

Sunrise dari jalur pasir Mahameru
Pasir dan bebatuan yang semenjak tadi menjadi teman kami, kini ikut berwarna kekuningan. Semakin lama semakin terliat jelas terjalnya jalur yang kami lewati. Namun, semakin lama semuanya juga semakin indah tak terkira.

Setelah puas menikmati keindahan ciptaan Tuhan, kami kembali mendaki sedikit demi sedikit. Namun, ternyata perasaan tak nyaman itu masih saja menghantuiku. “Kayaknya aku masuk angin deh, boleh minta tolak angin?” kataku akhirnya. Kak Fadil pun memberiku tolak angin dan langsung kuminum. Beberapa saat setelah itu terjadilah hal yang paling aku benci, muntah, Ya, aku muntah. Angin dalam tubuhku mendorong semua isi lambungku.

Sekali, aku hanya minta air untuk minum dan meneruskan perjalanan. Ternyata, tubuhku memang drop. Tak hanya sekali aku muntah, berkali-kali aku mengeluarkan isi perut di jalur pasir itu. Energiku sedikit demi sedikit habis. Bagaimana tidak setiap kali aku berusaha mengisi ulang tenaga dengan makanan atau jahe dan gula merah saat itu juga aku muntahkan lagi.

Sudah makin siang, makin lelah, puncak belum terlihat
Hari semakin siang, matahari sudah semakin tinggi dan kami tidak boleh terlalu siang sampai puncak karena badai dan racun dari kawah Semeru akan keluar. Keempat rekanku yang lain sudah semakin menyadari dengan kondisi fisikku yang menurun. “Erika, gimana mau sampe puncak ga?” tanya Dwi yang juga sudah lelah, sedari tadi ia ditarik oleh webing yang diikatkan pada tubuh Kak Fadil. Aku mengangkat tanganku dan berkata, “lanjut wi, muncak,” kataku. Aku tak mau mereka menyerah karena aku.

Pemandangan indah yang bikin betah meski lelah
Sekitar pukul 9 pagi aku sudah semakin khawatir karena puncak belum juga terlihat. Batu besar pun masih jauh sekali rasanya. “Gak boleh terlalu siang, bisa bahaya,” pikirku saat itu. Aku berjalan paling belakang dan terus mencoba mendaki meski berulang kali terpeleset. Sampai akhirnya aku untuk pertama kalinya berpikir untuk menyerah.

“Duluan aja, tunggu di puncak del,” kataku pada Delia. Ia terlihat ragu, tapi aku kembali menganggukan kepala dan akhirnya ia dan Om Sentot berjalan duluan menuju puncak. Saat itu, aku berusaha keras terlihat baik-baik saja demi keadaan psikologis teman-teman yang lain. Aku sudah tidak yakin bisa sampai ke puncak tertinggi itu.

Sedikit lagi pukul 10 dan aku masih tertidur di pasir. Panas semakin terasa, bibirku semakin kering, dehidrasi hanya tinggal menunggu waktu. Tiba-tiba saja beberapa pendaki lewat dan aku mendengarkan percakapan mereka sebelum akhirnya membangunkanku.

“Wah, siapa tidur di sini sendirian, bahaya jek udah makin siang,” katanya. “Bangunin jek coba,” sahut temannya. “Wah, harim jek harim,” katanya lagi sebelum akhirnya menepuk kakiku dan membangunkanku, “Mbak, mbak gak boleh lama-lama tidur di sini, bahaya udah siang, yuk turun,” katanya. “Oh iya mas, makasih. Nunggu temen saya sebentar masih di atas,” kataku.

Aku menengok ke atas dan belum terlihat siapapun muncul. Sampai akhirnya ada lagi yang turun dan menyapaku. “Mbak ini diminum sedikit biar gak dehidrasi. Sama ini madu oles di bibir biar gak kering,” katanya. Sungguh solidaritas tinggi pendaki sangat aku rasakan saat itu. Aku tak mengenal orang-orang tadi tapi mereka dengan ikhlas menolongku. Bahkan, air dalam botol yang hanya tinggal seteguk itu rela ia berikan padaku.

Beberapa lama kemudian datang Dwi dengan dua pendaki lain di kanan kirinya. Astaga, anak ini! Ia turun dengan mata tertutup sambil dibopong dua pendaki lain. Fobianya akan ketinggian membuatnya enggan membuka mata.

“Er, ayo turun,” kata Dwi. “Hastaga Dwi, kenapa lu tutup mata?” jawabku. Akhirnya ia dan dua pendaki baik hati itu turun duluan, lalu tak lama aku pun ikut turun. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan pendaki lain yang meminta bantuan. “Maaf, masih ada logistik gak? Temen-temen perempuan saya masih di atas kehabisan logistik,” katanya. Kami pun tanpa pikir panjang memberikan sisa logistik yang ada di dalam tas.

Memang solidaritas antar pendaki sangat dibutuhkan di sini. Semua orang asing akan mendadak menjadi keluargamu di sini. Tak ada sentimen suku, ras, agama, atau apa pun. Di atas sana kita semua sama. Bahkan, semua orang akan mendadak ramah dan selalu saling menyapa bila berpapasan. Sungguh indah jika hal ini juga terjadi di kota.

Sekitar dua setengah jam kemudian kami sampai tenda. Sungguh menyakitkan karena butuh waktu 10 jam untuk naik, tapi kurang dari tiga jam untuk turun. Sampai Kalimati, hal pertama yang kami cari adalah air, berapapun harganya akan kami beli. Dahaga sudah sangat mengganggu tenggorokan.

Beberapa saat kami berlima istirahat karena kehabisan tenaga. Sampai sekitar pukul 4 sore kami berkemas untuk turun ke Ranu Kumbolo. Sebelum turun aku harus mengembalikan kondisi tubuhku. Tolak angin nampaknya sudah tidak mempan lagi untukku sampai akhirnya aku harus meminum obat darurat yang dibawa.

Aku pun hanya sanggup meminumnya empat kali teguk saja. Namun, efeknya sudah langsung terasa. Perutku hangat dan berulang kali aku sendawa. Energiku juga seakan-akan sudah kembali lagi. Namun, aku bersumpah tidak akan minum lagi minuman itu, rasanya benar-benar tidak enak. Ya, memang tidak ada obat yang enak, tapi itu sangat tidak enak, sungguh.

Selesai berkemas kami semua siap untuk turun. Hutan Kalimati akan sangat gelap bila hari sudah malam, kami pun sedikit terburu-buru. Sekitar pukul setengah 8 kami sudah sampai Ranu Kumbolo dan langsung membuat tenda. Ranu Kumbolo malam itu tak sedingin mala pertama kami di sana. Setelah masuk tenda Om Sentot yang kelelahan langsung tidur, begitu juga dengan Dwi yang sedikit demi sedikit mengantuk dan tertidur. Sedangkan aku dan Delia masih saja mengobrol ke sana ke mari, mengkhayal, dan membuat beberapa lelucon yang membuat kami tertawa sampai sakit perut. 

Setelah puas tertawa dan makan kentang goreng serta minum jus, kami berlima tidur dan mempersiapkan fisik untuk pulang esok hari. Sungguh pengalaman yang tak akan pernah terlupakan. Perjalanan menuju atap tertinggi Pulau Jawa.

Terima kasih Tuhan karena telah menciptakan negeri yang indah ini untuk aku dan sahabatku jelajahi J

NB: Kalau naik gunung harus benar-benar siap fisik dan mental. Aku akui saat mau mendaki Semeru persiapan fisikku sangat kurang. Maklum abis lebaran kerjaannya banyak makan dari pada olahraga hehe. Bahkan, tak sampai lima kali aku lari pagi sebelum mendaki, itu pun jarak dekat -_-


You May Also Like

0 comments